Resiliency kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia lebih kurang mirip artinya dengan kekenyalan, keuletan, atau ketangguhan. Dalam konteks psikologi, kata resiliency ini sering dikaitkan dengan isitilah hardiness (hard = keras), dan resiliency dipandang sebagai faktor penting bagi seseorang untuk mampu bertahan hidup dalam situasi sesulit apapun. Viktor E. Frankl, pencetus Logotherapy (Terapi Kebermaknaan Hidup) misalnya adalah seorang yang sangat resilient. Ia hidup dalam tahanan Nazi termasuk di penjara yang mengerikan seperti di Dachau dan Auschwitz, dan ia menemukan bahwa mereka yang mampu bertahan hidup adalah mereka yang merasakan hidupnya bermakna. Mungkin potret individu serupa ini dapat disimak melalui tayangan film “Life is Beautiful”.
Kajian resiliency dalam psikologi hingga saat ini cukup banyak namun tak sebanyak kajian kecemasan (anxiety), dan kajian resiliency dalam dunia kerja dan usaha bahkan lebih sedikit lagi. Keamanan dan rasa ketidak-amanan (security-insecurity) serta kecemasan, kecelakaan kerja, ketidak-puasan kerja banyak mewarnai penelitian-penelitian psikologi yang tentu saja diarahkan untuk mencari upaya mengatasi hal negatif tersebut. Namun mungkin perlu juga untuk mengedepankan psikologi positif (positive psychology) dengan lebih mengenalkan resiliency kepada masyarakat.
Seorang yang resilient cenderung mempersepsi suatu masalah sebagai tantangan dan bukan sebagai beban; sebaliknya seorang yang tidak resilient (non-resilient) cenderung mempersepsi masalah sebagai beban sehingga ia menjadi lebih mudah merasa terancam, cepat merasa frustrasi, dan rentan terhadap berbagai gangguan psikologis bahkan fisik. Resiliency dipandang merupakan faktor penting dalam pendidikan, karena anak yang kurang resilient cenderung cepat frustrasi menghadapi tugas pendidikan, menjadi malas belajar (untuk menghindari rasa ketidakberdayaan), dan berprestasi rendah di sekolah. Tetapi, bagaimanapula seorang anak bisa resilient jika orangtuanya sendiri sering mengeluh, menunjukkan non-resiliency. Demikianlah antara lain soal resiliency yang kelak akan banyak dikaji oleh Fakultas Psikologi Untar.
Selama 4 tahun terakhir ini, wakil dari F.Psi Untar telah diundang untuk menyajikan topik resiliency dalam pertemuan asosiasi psikologi kesehatan di Jepang (2000), pertemuan asosiasi psikologi perkembangan di Beijing (2000), pertemuan asosiasi psikologi terapan di Singapura (2002) bahkan sebagai salah satu pembicara utama di Universitas Waseda (2000). Dalam waktu dekat ini F.Psi Untar akan mengundang pakar-pakar psikologi kesehatan dan perkembangan untuk membahas resiliency, dan Untar kembali akan menjadi tuan rumah pertemuan ilmiah yang melibatkan pakar internasional dari Jepang dan Canada. Semoga saja kegiatan ini akan memberi sumbangan yang berarti bagi keluarga besar Untar khususnya dan bagi masyarakat umumnya, karena informasi tentang resiliency mungkin dapat digunakan untuk meningkatkan ketangguhan mental dalam kehidupan beerkeluarga, dalam memperbaiki prestasi belajar dan kerja, serta tentunya guna meningkatkan kesehatan mental kita selaku anggota masyarakat yang kerapkali harus menghadapi berbagai persoalan hidup. |