Borderline artinya garis batas, dan dalam psikologi ada klasifikasi gangguan kepribadian yang dikenal sebagai Borderline Personality Disorder (BPD). BPD tidak lalu diterjemahkan sebagai kepribadian garis batas melainkan sering terjemahkan sebagai kepribadian tapal batas. Pengertian tapal batas lebih kurang serupa dengan tapal batas dalam medan peperangan, yaitu wilayah yang membatasi kedua wilayah yang berperang. Kalau dalam peperangan yang berperang adalah pasukan tempur dua belah pihak, kalau dalam BPD yang berperang adalah “aku” dan “bukan aku” atau The I vs The Not-I. Mengapa kedua belah pihak berperang tentu karena masing-masing memperebutkan wilayah tersebut, dan ketika pribadi seseorang menjadi wilayah tapal batas, maka pihak “aku” dan “bukan aku” saling berebut.
“Aku” meliputi ke-aku-an yang mencakup kesenangan yang bersumber secara alami, bersifat naluriah yang kalau mengikuti pandangan Freudian disebut pleasure principle. “Bukan Aku” adalah hal-hal eksternal yang adakalanya membawa kesenangan bagi “aku” dan adakalanya menimbulkan rasa kurang senang. Namun seringkali yang tidak menyenangkan harus juga diterima oleh “aku”, karena “aku” harus menjalani hidup bersama “aku lain”, atau seseorang harus hidup di dalam tatanan sosial tertentu. Individu normal pada umumnya mampu menjadikan wilayah perbatasan tersebut sebagai wilayah damai. Artinya kesenangan dapat ditunda untuk menyesuaikan “aku” dengan “aku lain”, sehingga masing-masing pihak mencari kesesuaian. Pada individu penyandang BPD wilayah tapal batas tersebut senantiasa jadi medan pertempuran, dan kalau sudah bertempur maka “aku” harus menyelamatkan diri dengan berbagai upaya tanpa peduli lagi “aku lain” baik itu benar maupun salah. Itulah akibatnya salah satu ciri utama BPD adalah menyalahkan orang lain, karena penyandang BPD senantiasa merasa “aku” nya terancam dan senantiasa pula harus mencari upaya menyelamatkan diri. Anak-anak BPD yang gagal memperoleh nilai baik di sekolah cenderung menyalahkan gurunya sekalipun mereka sendiri sesungguhnya tidak belajar dengan sungguh-sungguh. Anak-anak tersebut juga cenderung menyalahkan orangtuanya yang dianggap kurang memberi perhatian sekalipun orangtua telah berupaya memberi perhatian sebaik-baiknya.
Ciri lain dari BPD adalah rentan terhadap kesendirian. “Aku” tidak berdaya ketika harus berada sendirian, karena dengan kesendirian maka tapal batas semakin maya dan “aku” kehilangan arah. Ketiadaan “aku lain” bukan menyebabkan “aku” merasa dominan menguasai wilayah, akan tetapi merasa sepi karena tidak ada yang didominasi dan tidak ada yang dikuasai. Karena itulah penyandang BPD senantiasa mencari sparring partner (kalau boleh meminjam istilah tinju). Hanya saja kalau atlet tinju yang baik, ketika dia kalah sparing dia lalu berusaha mengkoreksi diri dan menyikapi kekurangannya dengan belajar lebih baik. Penyandang BPD tidak mau kalah dari sparring partner-nya. Karena, tanpa kalah pun ia sudah merasa terancam, apalagi kalau kalah – ia tambah merasa terancam. Sifat ingin menang sendiri demi kesenangan pribadi ini merupakan ciri khas BPD. Karena itulah kadang-kadang orangtua merasa kewalahan menangani anak-anaknya yang menyandang BPD, sebaliknya penyandang BPD merasa lebih senang kalau ia terkesan mengalahkan lawan sekalipun ini bersifat palsu (superficial). Sebagai contoh, orangtua kewalahan mengatasi anaknya yang terus menerus memboroskan uang lalu orangtua meluluskan saja permintaan anak yang dilandasi kebohongan. Akibatnya anak tidak belajar bertindak ekonomis, dan suatu saat orangtuapun terbebani hutang anak-anaknya, lalu seluruh keluarga terpuruk.
Ciri khas lain BPD adalah tindakan destruktif, termasuk merusakkan barang-barang sendiri bahkan melakukan ancaman bunuh diri. Mereka berharap dengan tindakan destruktif akan memperoleh perhatian, demikian pula melalui ancaman bunuh diri mereka akan memperoleh perhatian khusus dari berbagai pihak.
Sesungguhnya, adanya wilayah tapal batas ini menunjukkan adanya kesenjangan maya akibat tidak adanya ketegasan dalam penanaman aturan serta nilai kehidupan. Kalau seorang ibu cerewet terus menerus menyuruh anaknya belajar padahal ibu tidak menunjukkan menunjukkan perhatian ketika anak belajar, maka anak tidak memahami apakah belajar itu baik atau tidak. Bahkan mungkin anak yang merasa kurang diperhatikan menganggap belajar itu tidak baik, karena ketika belajar ibunya malah pergi meninggalkannya, sibuk dengan arisannya sendiri, sehingga anak menjadi bimbang. Konon katanya belajar itu baik, tetapi ketika “aku” belajar “aku” jadi tak senang dan tak nyaman, bahkan cemas pula. Lalu, “di mana baiknya kalau aku belajar?” Demikian lebih kurang pemikiran seorang BPD sehingga ia senantiasa berada dalam “peperangan”
Kalau ada di antara Anda yang memiliki anak yang cenderung menyalahkan orang lain, resah dalam kesendirian, cenderung merusak, dan mungkin mengeluarkan ancaman-ancaman termasuk ancaman bunuh diri, mungkin mereka menunjukkan simtom BPD. Gangguan ini harus ditangani segera, karena jika dibiarkan, dalam waktu tidak terlalu lama gangguan tersebut akan menjadi bagian dari konstruksi kepribadian seseorang yang tidak sehat, dan ia akan senantiasa menjadi individu bermasalah dalam kehidupan sosialnya. Mudah-mudahan info ini ada manfaatnya. |